Oleh : Yolanda Krisna Putra
Dimana
ada meja, disitu ada kursi. Biasanya. Walaupun tak selamanya begitu. Seperti
kursi, meja disanggah oleh minimal satu tiang (kebanyakannya lebih). Bedanya
meja difungsikan sebagai peletakan benda, kursi untuk tempat duduk.
Ada
semacam aturan tidak tertulis menyatakan duduk di atas meja dianggap ‘kurang
sopan’, terutama dalam forum-forum resmi. Tapi aturan ini tidak melarang
sebaliknya. Tidak melarang peletakan benda di atas kursi karena fungsi kursi
sebagai tempat duduk. Kursi dianggap lumrah menjalankan fungsi meja, sedangkan
meja dianggap tak wajar menjalankan fungsi kursi.
Meja
bisa menjadi media untuk terjadinya interaksi sosial. Ketika menjadi tempat
pertemuan, maka berfungsilah ia secara sosial. Namun meja membutuhkan kursi
(orang-orang yang duduk; lesehan) agar dapat menjalankan fungsi sosialnya.
Sedangkan kursi tidak membutuhkan meja agar dapat menjalankan kursi sosialnya.
Orang yang duduk di kursi tanpa meja pun bisa melakukan interaksi sosial.
Bahkan kursi pun bisa menggantikan fungsi meja.
Mungkin
kita sering melihat pertemuan menggunakan meja persegi panjang, maka
pemimpinnya akan duduk di ujung agar adanya fokus kepada pemimpin tersebut.
Meja bisa menyimbolkan strata dalam pertemuan. Duduk melingkar dalam suatu
pertemuan bisa menandakan bahwa semua sama, tak ada pemimpin dan taka da yang
dipimpin. Sepertinya sebab itu Indonesia pernah mengenal “konfrensi meja
bundar” dalam perjuangannya.
***
Warkop
(warung kopi) atau kedai kopi dianggap sebagai ruang interaksi yang mewakili
Indonesia. Warkop atau kedai kopi di Indonesia mempunyai satu meja. Dibuat
melingkar mengelilingi pedagang. Sehingga peluang untuk melakukan interaksi
(obrolan) satu pembeli dengan pembeli lainnya semakin besar. Atau pembeli
dengan penjual sekali pun. Tak ada rasa risih obrolanmu akan didengar oleh
orang sebelah yang belum dikenal.
Bandingkan
dengan café yang merupakan representative barat (berasal dari francis). Café
menggunakan banyak meja dalam suatu ruangan. Satu kelompok, satu meja. Café
mewakili barat yang dianggap lebih individualis. Interaksi antar satu meja
dengan meja lainnya sangat kecil peluangnya. Mereka juga menempatkan penjual
sebagai pelayan yang fungsinya melayani, dan pembeli posisinya lebih tinggi.
Adanya privasi kelompok, obrolan kelompok dan atau hal lainnya yang
membuat seolah-olah dibutuhkannya pembatas. Namun pembatas menjadikan hilangnya
fungsi warkop/kedai kopi sebagai ruang interaksi sosial. Ruang untuk kenal orang baru misalkan.
Hadirnya
ruang yang menamakan warkop atau kedai kopi berkonsepkan café pertanda adanya
kebutuhan akan privasi. Baik itu privasi individu maupun kelompok. Namun
ruang-ruang seperti warkop / kedai kopi pun ikut andil dalam pembentukan
kebutuhan tersebut. Karena warkop/kedai kopi tentunya saling membutuhkan dengan pembelinya. Lalu kalau ingin privasi, mengapa harus membuat kumpulan di
ruang publik seperti warkop atau café?
***
Satu
meja, satu topik pembicaraan. Meja bisa menjadi pembatas pembicaraan dan
interaksi sosial.
Meja
bisa menjadi media interaksi sosial, namun meja juga bisa menjadi sekat. Meja
bisa menjadi pembatas. Meja bisa menjaga obrolan dan privasi (individu dan
kelompok). Menjadi jurang sosial.
Cuma
ada istilah ‘satu meja’, tak terdengar istilah ‘satu kursi’.
Ilustrasi : sumber