30 Nov 2014

Meja


Oleh : Yolanda Krisna Putra


Dimana ada meja, disitu ada kursi. Biasanya. Walaupun tak selamanya begitu. Seperti kursi, meja disanggah oleh minimal satu tiang (kebanyakannya lebih). Bedanya meja difungsikan sebagai peletakan benda, kursi untuk tempat duduk.
Ada semacam aturan tidak tertulis menyatakan duduk di atas meja dianggap ‘kurang sopan’, terutama dalam forum-forum resmi. Tapi aturan ini tidak melarang sebaliknya. Tidak melarang peletakan benda di atas kursi karena fungsi kursi sebagai tempat duduk. Kursi dianggap lumrah menjalankan fungsi meja, sedangkan meja dianggap tak wajar menjalankan fungsi kursi.
Meja bisa menjadi media untuk terjadinya interaksi sosial. Ketika menjadi tempat pertemuan, maka berfungsilah ia secara sosial. Namun meja membutuhkan kursi (orang-orang yang duduk; lesehan) agar dapat menjalankan fungsi sosialnya. Sedangkan kursi tidak membutuhkan meja agar dapat menjalankan kursi sosialnya. Orang yang duduk di kursi tanpa meja pun bisa melakukan interaksi sosial. Bahkan kursi pun bisa menggantikan fungsi meja.
Mungkin kita sering melihat pertemuan menggunakan meja persegi panjang, maka pemimpinnya akan duduk di ujung agar adanya fokus kepada pemimpin tersebut. Meja bisa menyimbolkan strata dalam pertemuan. Duduk melingkar dalam suatu pertemuan bisa menandakan bahwa semua sama, tak ada pemimpin dan taka da yang dipimpin. Sepertinya sebab itu Indonesia pernah mengenal “konfrensi meja bundar” dalam perjuangannya.

***

Warkop (warung kopi) atau kedai kopi dianggap sebagai ruang interaksi yang mewakili Indonesia. Warkop atau kedai kopi di Indonesia mempunyai satu meja. Dibuat melingkar mengelilingi pedagang. Sehingga peluang untuk melakukan interaksi (obrolan) satu pembeli dengan pembeli lainnya semakin besar. Atau pembeli dengan penjual sekali pun. Tak ada rasa risih obrolanmu akan didengar oleh orang sebelah yang belum dikenal.
Bandingkan dengan café yang merupakan representative barat (berasal dari francis). Café menggunakan banyak meja dalam suatu ruangan. Satu kelompok, satu meja. Café mewakili barat yang dianggap lebih individualis. Interaksi antar satu meja dengan meja lainnya sangat kecil peluangnya. Mereka juga menempatkan penjual sebagai pelayan yang fungsinya melayani, dan pembeli posisinya lebih tinggi.
Adanya privasi kelompok, obrolan kelompok dan atau hal lainnya yang membuat seolah-olah dibutuhkannya pembatas. Namun pembatas menjadikan hilangnya fungsi warkop/kedai kopi sebagai ruang interaksi sosial. Ruang untuk kenal orang baru misalkan.
Hadirnya ruang yang menamakan warkop atau kedai kopi berkonsepkan café pertanda adanya kebutuhan akan privasi. Baik itu privasi individu maupun kelompok. Namun ruang-ruang seperti warkop / kedai kopi pun ikut andil dalam pembentukan kebutuhan tersebut. Karena warkop/kedai kopi tentunya saling membutuhkan dengan pembelinya. Lalu kalau ingin privasi, mengapa harus membuat kumpulan di ruang publik seperti warkop atau café?

***

Satu meja, satu topik pembicaraan. Meja bisa menjadi pembatas pembicaraan dan interaksi sosial.

Meja bisa menjadi media interaksi sosial, namun meja juga bisa menjadi sekat. Meja bisa menjadi pembatas. Meja bisa menjaga obrolan dan privasi (individu dan kelompok). Menjadi jurang sosial.

Cuma ada istilah ‘satu meja’, tak terdengar istilah ‘satu kursi’.
 

Ilustrasi : sumber

14 Mei 2013

Film : Dibalik Frekuensi



Sutradara : Ucu Agustin
Tipe : Dokumenter
Produksi :  Cipta Media Bersama, 2012.


-- Frekuensi itu seperti udara, hak semua orang. Begitulah jurnalistik, seharusnya berpihak kepada rakyat bukan pemilik modal.

                        Kira-kira begitulah kutipan dari film yang berjudul ‘Dibalik Frekuensi’ yang telah direlease tahun 2012 lalu. Ini merupakan film dokumenter yang bercerita tentang dua media (televisi) besar di Indonesia yang telah dikonglomerasi.
                Menceritakan tentang seorang ibu rumah tangga karyawan Metro TV yang di-nonjobkan bernama Luviana. Dia tetap memenuhi kewajibannya ke untuk datang ke kantor, namun tidak boleh lagi memasuki kantor redaksional dan dipindahkan ke bidang HRD.
Luviana terus mempertanyakan kesalahan yang dilakukannya. Bersama Aliansi Jurnalist Independent (AJI) Luvi terus melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan pihak menajemen. Namun tidak ada kejelasan. Diduga nonjob yang dilakuka terhadap Luvi karena ia menginisiasi pembentukan aliansi serikat pekerja Metro TV.
Ditengah kasus ini bergulir. Tersiar juga kabar salah seorang korban lumpur Siodoarjo Jawa Timur bernama Hari Suwandi sedang melakukan aksi jalan kaki dari Porong, Sidoarjo menuju Jakarta. Ini untuk menuntut pemerintah dan PT Lapindo Indo Brantas sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian lumpur lapindo. Ia menuntut pelunasan pembebasan lahan korban lumpur lapindo dan membuat korban memiliki hidup layak kembali. Hari Suwandi menempuh perjalanan melalui pantai utara jawa kurang lebih 29 hari perjalanan.
Itulah dua tokoh yang diceritakan film ini, namun Luviana adalah tokoh utamanya. Film ini disetting dengan dua cerita tersebut, dengan alur yang dicampur. Dalam film ini banyak memperlihatkan bagaimana jurnalistik hari ini tidak lagi memiliki keberpihakan terhadap rakyat, namun mengutamakan kepentingan pemiliki modal. Ditampilkan dengan jelas bagaimana kampanye politik pemilik-pemilik Metro TV, Vivanews group atau MNC group sekalipun harus memiliki ‘porsi khusus’ dalam pemberitaan di media tersebut.
Adegan-adegan dalam film ini banyak menunjukkan bagaimana perjuangan Luviana bersama organisasi lainnya mempertanyakan statusnya di perusahaanya bekerja. Termasuk bagaimana ketika Luviana berusaha mendatangi kantor pusat nasdem partai tempat Surya Paloh pemilik Metro TV bernaung. Juga bagaimana perjuangan Hari Suwandi untuk sampai di Jakarta dan usaha-usaha yang ia lakukan setibanya di ibu kota, termasuk menemui salah satu wakil rakyat di senayan.
Selain itu juga banyak memperlihatkan bagaimana media-media (televisi) besar tersebut saling melindungi pemilik modal mereka. Bagaimana mereka berusaha menutupi atau mencari ‘angel pemberitaan’ mereka sehingga seolah berubah menjadi pencitraan bagi pemilik modal mereka. Dalam film ini diperlihat dengan gamblang, bagaimana media mengubah angel pemberitaan mereka jika sudah menyangkut citra sang pemilik modal.
Dipenghujung film, diperlihatkan Luviana yang akhirnya diPHK secara resmi oleh pihak menajemen Metro TV padahal masih dalam tahap negosiasi dan konsolidasi. Juga diperlihatkan bagaimana efek dari perjuangan Luviana tersebut. Ia hanya berjuang untuk melawan ketakutan. Hari Suwandi yang dari awal terlihat begitu tulus juga tiba-tiba melakukan interview live di TV One, menyatakan bahwa ia menyesal dengan tindakan. Ia merasa tindakannya adalah salah. Keluarga Bakrie (pemilik PT Lapindo Indo Brantas) pastinya mampu menyelesaikan masalah lumpur di Sidoarjo. Ia seperti menjadi penjilat dan membalikkan fakta sebelumnya.
Begitulah konglomerasi media yang diceritakan Ucu Agustin melalui film ini. Media yang seharusnya penyampai frekuensi fakta kepada masyrakat, malah dijadikan tameng citra oleh pemilik modal mereka. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi, dari puluhan media televisi, ratusan media cetak, dan ribuan portal online di Indonesia ternyata hanya dimiliki oleh 12 pemodal. Artinya media di Indonesia hanya terbagi ke dalam 12 kelompok pemilik modal dan merekalah yang menguasai frekuensi-frekuensi yang beredar bebas di udara bumi pertiwi.  Jika sudah seperti ini, dimanakah indenpensi media yang kita damba-dambakan?
‘Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli’, - Ucu Agustin.

Yolanda Krisna Putra
Editor in Chief bandungsearch.com

Foto : Sumber

11 Mei 2012

Sebuah pemikiran tentang pendidikan tanpa 'budaya menghukum' sehingga 'melahirkan kehebatan'


Oleh : Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Fotomyoyen