Warning,
ini bukan merupakan sebuah review film!
Di
media sosial terutama twitter, saya adalah follower dari Adriano Qalbi dengan
akun twitter @adrianoqalbi dan Angga Dwimas Sasongko (akun twitter @anggasasosongko). Dua orang yang
terlibat di dalam film Love For Sale. Adriano sebagai pemeran salah satu tokoh,
sedangkan Angga adalah producer film tersebut melalui production house (PH)
miliknya, Visinema Pictures.
Kurang
lebih baru setahun saya menjadi salah satu follower mereka berdua. Adriano saya
kenal karena saya merupakan salah satu pendengar rekaman suaranya yang disebut
podcast awal minggu (@podcastawalminggu) sedangkan Angga pertama kali saya
kenal karena ia merupakan sutradara dari film Cahaya dari Timur : Beta Maluku
(2014).
Menariknya,
meskipun saya menjadi follower dua orang yang terlibat langsung di dalam film
Love For Sale ini dan hampir setiap hari saya berlalu lalang di twitter, tapi
saya pertama kali mengetahui tentang film ini bukan lah dari twit salah satunya atau
dari promo mereka berdua di twitter. Saya mengetahui film ini dari iklan di
bioskop yang ditayangkan sebelum sebuah film dimulai sejak sekitar Januari 2018
lalu. Iklan yang ditayangkan cukup 'nyeleneh' menurut saya karena menampilkan
seorang pria yang belakangan saya ketahui sebagai pemeran utama dalam film ini
sedang berjalan di dalam sebuah rumah Cuma dengan menggunakan celana dalam dan
singlet saja. Lalu pria tersebut juga menggaruk-garuk di bagian selangkangannya.
Cukup nyeleneh untuk ukuran film Indonesia menurut saya.
Pada
akhir iklan, seperti biasa ditampilkan PH yang menggarap film tersebut. Maka
terlihatlah Visinema Picture. Sejak itu, saya yakin dan percaya selain iklan
yang sedikit nyeleneh, film ini juga akan menjadi sebuah film yang bagus.
Karena menurut saya apa yang diproduksi Visinema sebelumnya, belum pernah
membuat saya kecewa. Maka sejak saat itu saya berjanji, saya harus menonton film
tersebut. Saya berusaha mengingat jadwal tayang film ini pada bulan Maret.
Balik
sedikit ke belakang tentang apa yang sebut film atau karya yang digarap oleh
Visinema belum pernah membuat saya kecewa. Visinema Pictures dan Angga Dwimas
Sasongko saya kenal pertama kali melalui film Cahaya dari Timur : Beta Maluku
(2014), sebuah film yang sempat meraih film terbaik versi FFI tahun 2014. Selanjutnya
film Filosofi Kopi (2015) yang mana menurut saya lebih laris setelah tidak lagi
tayang di bioskop dan juga sukses sebagai brand sebuah kedai kopi. Ada film
Filosofi Kopi 2 (2017) yang secara angka penonton bioskop cukup meningkat dari
film pertamanya. Sebelum itu juga terselip film produksi Visinema lainnya Surat
dari Praha (2016). Dari semua list film tersebut, menurut saya adalah karya
yang istimewa dari Visinema yang tidak pernah mengecewakan. Bahkan sejak akhir
tahun lalu saya membaca twit Angga, kabarnya Visinema dan Angga juga sedang
menggarap film Wiro Sableng yang akan tayang tahun 2018 ini.
Film
sukses?
Suksesnya
sebuah film biasanya bisa diukur dari dua hal. Pertama sukses secara kualitas
film. Kualitas di sini biasanya bisa dilihat dari beberapa aspek misalnya
seperti rating, review, komentar penonton, kepuasan penonton atau penghargaan
yang diterima oleh film tersebut dari festival-festival film yang ada. Kedua,
suksesnya sebuah film biasanya diukur berdasarkan jumlah penonton yang menonton
film tersebut di bioskop.
Kedua
aspek kesuksesan sebuah film tersebut bisa jadi beriringan atau bisa jadi juga
tidak sejalan. Film yang dibilang sukses secara kualitas, misalnya mendapatkan
banyak respon yang positif, rating di IMDB tinggi, review yang bagus dan
sebagainya bisa saja mendapatkan sedikit penonton di bioskop ketika masih
tayang. Begitupun sebaliknya, film yang secara kualitas dianggap ‘biasa saja’
(jika tidak mau disebut jelek) bisa mendapatkan jumlah penonton yang banyak di
bioskop. Kita samakan persepsi misalnya kurang dari satu juga penonton disebut
sedikit, dan lebih dari satu juta penonton disebut banyak.
Film-film
produksi dari Visinema Picture itu kebanyakan adalah golongan yang pertama.
Dimana, secara kualitas dan review selalu bagus, medapatkan banyak penghargaan.
Namun selalu biasa saja dari segi penjualan dan jumlah penonton di bioskop.
Saya menyebutnya dengan kegagalan marketing. Banyak faktor tentunya, salah
satunya mungkin dengan terbatasnya biaya untuk promosi. Selain itu bisa juga
mungkin dengan terbatasnya biaya produksi sehingga tidak bisa melibatkan banyak
actor atau aktris pendukung yang juga bisa membawa banyak masa penonton. Atau
karena terlalu ‘idealis’ dalam menulis cerita mungkin. Kita tentu bisa saja
banyak mengira-ngira dan menerka-nerka dengan berbagai analisa-analisa
tertentu. Tapi yang pasti, film-film yang menurut saya belum pernah
mengecewakan dari visinema, selalu terdengar biasa saja dari segi angka
penjualan penonton di bioskop.
Ada
sedikit harapan untuk saya film Love For Sale ini akan lebih sukses dari segi
kualitas dan jumlah penonton di bioskop dibandingkan para pendahulunya dari PH
yang sama. Karena setidaknya informasi tentang film ini tidak lagi saya dengar
dari promosi gratisan di twitter, tapi sudah promosi melalui iklan di bioskop.
Harapan ini pun bertambah ketika kamis lalu tanggal 15 Maret 2018 saya sudah
menonton film Love For Sale, dan seperti biasanya memang memang tidak mengecewakan.
Secara kualitas sudah memenuhi syarat menurut saya. Tinggal semoga lebih
berhasil secara penjualan dan jumlah penonton bioskop. Karena mengingat biaya
promosinya sudah cukup besar sepertinya.
Setelah
sempat menonton film ini ketika hari pertama ditayangkan di bioskop, saya
sedikit mulai ragu dengan harapan tersebut. Ketika itu saya menonton di BTC
XXI, Bandung. Pada jam yang seharusnya prime time pukul 19.00 saja penonton
tidak sampai 25% total isi bioskop itu yang saya lihat. Begitupun membaca
beberapa re-twit oleh Angga di twitter, juga terbaca oleh saya juga belum bisa
menjadi perbincangan yang trending topik. Sepertinya, jika ingin menjadi film
dengan jutaan penonton, haruslah beberapa kali menjadi trending topik di media
sosial.
Secara cerita, film Love For Sale
ini memang sangat dewasa. Dewasa dalam arti sebenarnya, jika tak mau disebut
tua. Hal ini bisa menjadi kekuatan, sekaligus kelemahan. Kekuatan karena memang
ceritanya terasa begitu dekat, nyambung dan nyata bagi orang-orang dengan umur
seperti saya. Menjadi kelemahan karena kurang bisa dinikmati oleh anak yang
lebih remaja. Bakan menurut saya film ini tidak cocok ditonton oleh mereka yang
masih dibawah 22 bahkan 23 tahun mungkin. Jika kurang bisa (kalau tak mau
disebut tidak bisa) ditonton oleh mereka pada usia remaja, tentu akan sulit
untuk dapat mengejar jutaan penonton seperti kategori film sukses dari segi
bisnis seperti yang kita sepakati di atas.
Film
garapan sutradara Andi Bachtiar Yusuf ini bercerita tentang seorang pria single
berusia 41 tahun yang diperankan oleh Gading Marten. Bercerita tentang
kegelisahan seorang pria single yang ‘sudah lewat usia menikah’ yang sudah
memasuki usia susah untuk mendapatkan pacar, lingkup pergaulan semakin
menyempit dan benar-benar kesepian sampai hidupnya menjadi kaku.
Kegelisahan-kegelisahan seperti ini tidak harus dijelaskan pada kepada pada
pria dengan usia 25 tahun lebih dan masih single serta tidak memiliki pacar
bahkan. Tidak hanya pada pria saja, beberapa teman wanita saya dengan usia yang
sama juga mengakui bisa nyambung dengan kegelisahan cerita yang diangkat film
Love For Sale ini. Namun akan sangat sulit dijelaskan kepada mereka yang masih
berusia sebelum sekitar 22-23 atau bahkan kepada remaja.
Kegelisahan,
kesepian dan cerita dalam film ini sungguh kuat, memang sudah menjadi ciri dari
karya Visinema sepertinya. Bahkan Love For Sale mengingatkan saya pada film
karya Visinema lainnya, Surat dari Praha (2016). Kegelisahan yang ditonjolkan
dalam kedua film ini saya merasakan sama. Cuma berbeda dari konflik yang
dihadapi. Dalam film Surat dari Praha konflik nya berkaitan dengan politik, di
mana tokoh utamanya dicabut kewarganegaraan nya ketika berada di luar negeri.
Namun dari sisi kesepian saya merasakan hal yang sama yang dihadirkan kedua
tokoh dalam kedua film tersebut.
Sama
seperti kebanyakan film yang diproduksi oleh Visinema Pictures lainnya, Love For
Sale juga relative tidak mengandalkan banyak nama actor/aktris yang memerankan
tokoh dalam film ini. Begitu juga dengan lokasi pengambilan gambar, sepertinya
tidak banyak. Memang Love For Sale sudah kuat dari segi ceritanya. Hampir cuma
nama Gading Marten sebagai pemeran utama yang boleh disebut nama besar (dengan
asumsi setiap hari wara-wiri di tv nasional). Itupun katanya sudah turun pamor
katanya, dikalahkan Gempi anak pertamanya.
Bahkan
dalam beberapa kali wawancara di beberapa media, sambil bercanda Gading
pun sudah sering menyebut bahwa ia sekarang lebih sering dipanggil anak Roy Marten
atau ayahnya Gempi. Hal ini mungkin benar adanya. Jika diliat di media sosial
Gading (instagram terutama) sorotan warganet Indonesia sepertinya lebih besar
kepada Gempi dari pada Gading. Hal itu juga yang terlintas pertama dalam otak
saya : mungkinkah popularitas Gempi bisa berpengaruh terhadap kesuksesan film
Love For Sale nantinya?
*Nb
: naskah ini diselesaikan dalam keadaan gaya seperti Richard, celana dalam dan singlet
sedikit sobek.