Sutradara : Ucu Agustin
Tipe : Dokumenter
Produksi : Cipta Media Bersama, 2012.
-- Frekuensi itu seperti udara, hak semua orang. Begitulah jurnalistik, seharusnya berpihak kepada rakyat bukan pemilik modal.
Kira-kira
begitulah kutipan dari film yang berjudul ‘Dibalik Frekuensi’ yang telah direlease
tahun 2012 lalu. Ini merupakan film dokumenter yang bercerita tentang dua media
(televisi) besar di Indonesia yang telah dikonglomerasi.
Menceritakan
tentang seorang ibu rumah tangga karyawan Metro TV yang di-nonjobkan bernama
Luviana. Dia tetap memenuhi kewajibannya ke untuk datang ke kantor, namun tidak
boleh lagi memasuki kantor redaksional dan dipindahkan ke bidang HRD.
Luviana terus mempertanyakan
kesalahan yang dilakukannya. Bersama Aliansi Jurnalist Independent (AJI) Luvi
terus melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan pihak menajemen. Namun tidak
ada kejelasan. Diduga nonjob yang dilakuka terhadap Luvi karena ia menginisiasi
pembentukan aliansi serikat pekerja Metro TV.
Ditengah kasus ini bergulir.
Tersiar juga kabar salah seorang korban lumpur Siodoarjo Jawa Timur bernama
Hari Suwandi sedang melakukan aksi jalan kaki dari Porong, Sidoarjo menuju
Jakarta. Ini untuk menuntut pemerintah dan PT Lapindo Indo Brantas sebagai
pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian lumpur lapindo. Ia menuntut
pelunasan pembebasan lahan korban lumpur lapindo dan membuat korban memiliki
hidup layak kembali. Hari Suwandi menempuh perjalanan melalui pantai utara jawa
kurang lebih 29 hari perjalanan.
Itulah dua tokoh yang diceritakan
film ini, namun Luviana adalah tokoh utamanya. Film ini disetting dengan dua
cerita tersebut, dengan alur yang dicampur. Dalam film ini banyak
memperlihatkan bagaimana jurnalistik hari ini tidak lagi memiliki keberpihakan
terhadap rakyat, namun mengutamakan kepentingan pemiliki modal. Ditampilkan
dengan jelas bagaimana kampanye politik pemilik-pemilik Metro TV, Vivanews
group atau MNC group sekalipun harus memiliki ‘porsi khusus’ dalam pemberitaan
di media tersebut.
Adegan-adegan dalam film ini
banyak menunjukkan bagaimana perjuangan Luviana bersama organisasi lainnya
mempertanyakan statusnya di perusahaanya bekerja. Termasuk bagaimana ketika
Luviana berusaha mendatangi kantor pusat nasdem partai tempat Surya Paloh
pemilik Metro TV bernaung. Juga bagaimana perjuangan Hari Suwandi untuk sampai
di Jakarta dan usaha-usaha yang ia lakukan setibanya di ibu kota, termasuk
menemui salah satu wakil rakyat di senayan.
Selain itu juga banyak
memperlihatkan bagaimana media-media (televisi) besar tersebut saling
melindungi pemilik modal mereka. Bagaimana mereka berusaha menutupi atau
mencari ‘angel pemberitaan’ mereka sehingga seolah berubah menjadi pencitraan
bagi pemilik modal mereka. Dalam film ini diperlihat dengan gamblang, bagaimana
media mengubah angel pemberitaan mereka jika sudah menyangkut citra sang
pemilik modal.
Dipenghujung film, diperlihatkan
Luviana yang akhirnya diPHK secara resmi oleh pihak menajemen Metro TV padahal
masih dalam tahap negosiasi dan konsolidasi. Juga diperlihatkan bagaimana efek
dari perjuangan Luviana tersebut. Ia hanya berjuang untuk melawan ketakutan.
Hari Suwandi yang dari awal terlihat begitu tulus juga tiba-tiba melakukan
interview live di TV One, menyatakan bahwa ia menyesal dengan tindakan. Ia
merasa tindakannya adalah salah. Keluarga Bakrie (pemilik PT Lapindo Indo
Brantas) pastinya mampu menyelesaikan masalah lumpur di Sidoarjo. Ia seperti
menjadi penjilat dan membalikkan fakta sebelumnya.
Begitulah konglomerasi media yang
diceritakan Ucu Agustin melalui film ini. Media yang seharusnya penyampai
frekuensi fakta kepada masyrakat, malah dijadikan tameng citra oleh pemilik
modal mereka. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi, dari puluhan media
televisi, ratusan media cetak, dan ribuan portal online di Indonesia ternyata
hanya dimiliki oleh 12 pemodal. Artinya media di Indonesia hanya terbagi ke
dalam 12 kelompok pemilik modal dan merekalah yang menguasai
frekuensi-frekuensi yang beredar bebas di udara bumi pertiwi. Jika sudah seperti ini, dimanakah indenpensi
media yang kita damba-dambakan?
‘Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli’, - Ucu Agustin.Yolanda Krisna Putra
Editor in Chief bandungsearch.com
Foto : Sumber