11 Mei 2012

Sebuah pemikiran tentang pendidikan tanpa 'budaya menghukum' sehingga 'melahirkan kehebatan'


Oleh : Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Fotomyoyen

13 Mar 2012

Long Time No See

Lama tak berjumpa dengan tumblr ini. Lama juga tidak bersua dengan blog. Itu artinya saya lama tidak menulis dan berbagi cerita. Berbagi cerita dengan diri ini saja lama tak saya lakukan, sungguh suatu nasib yang malang. Malang, layaknya malam yang ditinggal tidur oleh orang-orang. Lengang.

Sekarang sudah banyak berubah. Saya lebih banyak berkata-kata dan bercerita di twitter. Pembelaan dari diri, menuliskan di twitter itu cuma bagian cari mencatat biar tak lupa untuk dijelaskan lebih lanjut di tumblr dan blog. Namun ternyata saya mangkir, tidak menjelaskan lagi catatan itu sama sekali. Itulah pertanda terhadap diri sendiri saja manusia bisa mangkir, terutama saya.

Sekarang sudah banyak berubah. Kampus tidak seperti dulu lagi, terasa sepi. Entah karena saya yang menyepi sendiri. Entahlah. Hidup memang terlalu banyak tanya yang harus dijawab.

Saya dan kawan-kawan angkatan masuk di kampus dulu sudah semester lima sekarang, itu artinya tingkat tiga. Dalam budaya kampus dan jurusan saya, tingkat empat kebanyakan sudah lulus. Jadi logikanya wajar kalau jadwal mulai tidak sama, di kampus sudah mulai jarang ketemu, kesibukan masing-masing semakin banyak, kemana-mana selalu sendiri. Secara logika itu wajar terjadi. Kalau saya tambahkan, barangkali efek dari dulu kami memang tidak diciptakan untuk kompak dan bersama. Sudahlah, tak usah dikenang. Sudah setengah perjalanan lebih kata mereka. Ibarat nasi sudah jadi bubur. Tak ada yang salah dan tak ada yang bisa dipersalahkan.

Jika ditanya apa kabar setelah sekian lama saya tidak berbagi cerita dengan diri sendiri? Atau kejadian apa saja yang telah terjadi agar bisa saya bagi saat ini? Banyak. Pastinya saya akan jawab, sekarang sudah banyak berubah. Ada senang, dan banyak juga tak senangnya.

Intinya seperti ini, saya merasa seperti kehilangan diri saya. Aneh kedengarannya memang, tapi itulah yang terjadi sepertinya. Lihat saja berapa lama saya tidak lagi berbicara dan berbagi cerita dengan diri saya sendiri. Penyebabnya? Teman, ya. Suasana, ya. Tapi yang pastinya diri saya sendiri. Ada euforia-euforia yang hilang dari saya dan lingkungan saat ini yang hilang menurut saya. Semacam siklus yang berefek buruk. Bahkan terhadap senyum saya sekalipun. Dia hilang bersama tawa.

Seminggu belakangannya ini saya sering memutar film Gie. Saya melihat betapa bosannya dia menjalani hari-harinya setelah dia dan teman-temannya berhasil menggulingkan pemerintahan di zamannya. Mungkin kebosanan seperti itu yang saya rasakan sekarang. Tak ada hiburan. Musik tidak lagi terdengar merdu ditelinga ini. Festival berskala internasional sekalipun tidak lagi menarik untuk dikunjungi. Karokean hanya menimbulkan tawa sesaat yang hampa. Asap rokok sudah tidak lagi begitu nikmat untuk dihisap. Semuanya tawar dan semu. Saya benci keadaan ini.

Sepertinya sudah tidak ada kata yang dapat menggantikan maksud saya saat ini. Kuliah sedang tidak menarik, organisasi mahasiswa hanya segitu-gitunya, media sedang banyak kesibukan tapi tidak minat, kegiatan di kampus hanya sekedarnya dan tidak lagi membuat tawa. Lelah. Titik.

Jika kumati di tanah ini tolong sampaikan kepada ibuku, ku tak akan pulang lagi.

(Tulisan ini dipost kurang lebih tiga bulan yang lalu di tumblr Kota Yang Pergi)